7. Ayat-ayat Al Qur’an & Hadits Nabi serta Pendapat Para Ulama Fiqih Seputar Kewajiban Menutupi ‘Aurat bagi Wanita
Sebelum kami memaparkan ayat-ayat
Al-Qur’an seputar kewajiban menutupi ‘aurat bagi wanita, ada baiknya
kami menyebutkan beberapa pengantar berikut ini:
Pertama
Syeikh Ibn Hajar dalam kitabnya Al-i’lam bi Qawathi’il Islam
(hal. 164) berkata: “Sesungguhnya orang yang menolak sebuah ketentuan
hukum yang dinyatakan melalui redaksi yang cukup tegas dan jelas dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah, dan ketentuan tersebut telah pasti maknanya
serta dapat dipahami secara zhahir, maka orang tersebut telah kafir, seperti disepakati oleh ulama Islam.”
Masih dalam kitab yang sama (hal.94) Ibn
Hajar menuturkan “Di antara penyebab kekafiran seseorang adalah ketika
ia menghalalkan sesuatu yang hukumnya haram menurut kesepakatan ulama,
seperti meminum minuman keras dan perbuatan liwath (homoseks) jika hal itu diketahui dari agama secara pasti.”
Selanjutnya pada halaman 150 beliau juga
menuturkan: “Barang siapa menyepelekan suatu hukum syariat Islam, maka
sungguh ia telah kafir.”
Kedua
Apabila makna suatu kata memiliki dua kemungkinan; salah satunya bermakna hakiki, yakni makna yang sesungguhnya, dan yang satunya lagi bermakna majazi
yakni metafor, maka selagi tidak ditemukan adanya konteks yang
mendukung salah satu dari makna tersebut, maka kita cukup mengartikannya
dengan makna kata tersebut yang sesungguhnya, yakni makna dasarnya.
Misalnya ketika seseorang berkata, “Tadi
aku melihat seekor singa” maka kita yang mendengar ucapan tersebut,
cukup mengartikan kata ‘singa’ pada kalimat di atas dengan arti kata
tersebut yang sesungguhnya, yakni bahwa orang itu telah melihat seekor
binatang buas yang bernama singa. Kita tentu tidak akan mengartikan kata
‘singa’ tersebut dengan artinya yang majazi, yakni ungkapan
kiasan bagi seorang pemberani, kecuali jika ada konteks kalimat yang
membenarkan pengartiannya dengan ‘seorang pemberani.’ Lain halnya ketika
dengan ucapan berikut ini: “Aku melihat ‘singa’ itu sedang berduel
melawan musuh Allah.” Maka, konteks kalimat tersebut membenarkan kita
untuk mengartikan kata ‘singa’ dalam arti seorang pemberani.”
Selanjutnya apabila sebuah dalil memiliki kemungkinan dua makna, salah satunya bersifat zhahir dan satunya lagi bermakna bathin
maka sudah seharusnya kita memaknai dalil tersebut dengan makna yang
lebih dekat secara bahasa. Kita tidak boleh memaknainya dengan makna
jauh yang tidak zhahir, yakni mentakwil makna kata tersebut,
kecuali setelah adanya alasan akan pemaknaan demikian. Dalil tersebut
MEWAJIBKAN WANITA UNTUK baru boleh dimaknai dengan maknanya yang jauh,
dengan syarat makna yang jauh tersebut sesuai dengan makna bahasa yang
ada.
Demikian garis besar penjelasan pengarang kitab Jam’ul Jawami beserta syarah-nya, (hal. 254/ 2, 313/ 1).
*****
Ayat-Ayat Al Qur’an Yang Mewajibkan Wanita Untuk Menutup ‘Auratnya, serta Batasan-batasan ‘Auratnya
Ayat Pertama :
يَٰٓـأَيـُّهَا ٱلنَّبِيُّ قـُل
لـِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنـَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡـمُؤۡمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلـَيۡهـِنَّ مِن جَلَٰبـِيبـِهـِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنـَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ
فـَلـَا يُؤذيۡنَ ۗ وَكـَانَ اللهُ غـَفـُورًا رَّحِيمًا (الأحزاب : ٥٩
Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita (keluarga)
orang-orang mukmin, agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh
tubuh mereka) jilbab mereka. Hal itu menjadikan mereka lebih mudah
dikenal (sebagai para wanita muslimah yang terhormat dan merdeka)
sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah senantiasa Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang
QS. al-Ahzab ayat: 59
Pandangan Mufasir Ibn Katsir
Pada saat menafsirkan ayat ini, Ibn
Katsir berkata: “Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan Rasulnya
Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam untuk memerintah kaum
wanita mukminah untuk mengenakan jilbab, pakaian longgar yang
menutupi baju mereka, ke seluruh tubuh mereka, agar mereka tampil
berbeda dengan ciri-ciri kaum wanita Jahiliyah. Ali bin Abi Thalhah
meriwayatkan bahwa Ibn Abbas pernah berkata, Allah memerintahkan kaum
wanita mukminah pada saat pergi keluar rumah mereka untuk suatu
keperluan, agar menutupi wajah mereka dari atas kepala mereka dengan jilbab
dan hanya memperlihatkan sebelah matanya saja. Muhammad Ibn Sirin
pernah bertanya kepada Abidah As-Salamani tentang maksud ayat 59 surah
Al-Ahzab di atas, lalu ‘Ubaidah mengangkat semacam selendang yang
dipakainya dan memakainya sambil menutup seluruh kepalanya hingga
menutupi pula kedua alisnya dan menutupi wajahnya, dengan hanya
memperlihatkan mata kirinya saja. Ibn Abi Hatim dengan sanadnya
menyebutkan bahwa, Pada saat ayat di atas turun, kaum wanita Anshar
pergi keluar dan seakan-akan burung- burung gagak bertengger di atas
kepala mereka, saking tenangnya mereka; dan ketika itu mereka mengenakan
pakaian-pakaian berwarna hitam.”
Pandangan Abu Hayyan
Pada saat menafsirkan ayat ini Abu
Hayyan dalam Al-Bahrul Muhith-nya (hal.250/ 7) menuturkan: “Firman- Nya:
agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh mereka)
jilbab mereka artinya agar mereka dikenal selalu menutupi aurat mereka
sehinga mereka tampil dengan ketertutupan aurat, kesucian dan
keterpeliharaan diri mereka sehingga tidak ada satu pun para pelaku
maksiat yang berhasrat kepada mereka. Lain halnya dengan wanita yang
selalu bersolek dan mempertontonkan keindahannya, karena wanita semacam
ini umumnya selalu menjadi obyek hasrat mereka. Diriwayatkan dari Ibn
Jarir bahwa Ibn Abbas (ra) berkata, Hijab dililitkan di atas dahi lalu
ditarik dan dibelokkan ke atas hidung. Meski kedua matanya tampak, namun
hijab tersebut menutupi dada dan bagianwajahnya secara umum.
Demikianlah pula kebiasan penduduk Andalusi, tidak tampak dari kaum
wanita di negeri itu kecuali sebelah matanya saja.”
Pandangan Mufassir Al-Baidhawi
Dalam Tafsir- nya Al-Baidhawi (hal. 386/4) menyebutkan: “Firman-Nya, ‘agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh mereka) jilbab mereka artinya
mereka menutupi wajah mereka dengan pakaian yang menyerupai selimut, di
saat mereka hendak pergi keluar rumah untuk suatu keperluan.”
*****
Pandangan Ash-Shabuni dalam Kitabnya Tafsyir Ayatul Ahkam
Pertama, Apakah mengenakan hijab itu hukumnya wajib bagi seluruh wanita?
Jawabannya: zhahir dari ayat
diatasyangbunyinya: ” Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu…”dan
seterusnya menunjukkan bahwa mengenakan hijab hukumnya wajib bagi
seluruh kaum wanita mukminah.
Kedua, Bagaimana cara mengenakan hijab?
Allah (swt) memerintahkan kaum mukminah
untuk mengenakan hijab dan jilbab, hal ini diriwayatkan dari Ibn Jarir
Muhammad Ibn Sirin pernah bertanya kepada ‘Ubaidah As-Salmaani tentang
maksud ayat 59 surah Al- Ahzab di atas, lalu ‘Ubaidah mengangkat semacam
selendang yang dipakainya dan memakainya sambil menutup seluruh
kepalanya hingga menutupi pula kedua alisnya dan menutupi wajahnya,
dengan hanya memperlihatkan mata kirinya saja! Tafsir Ath-Thabari dan
Al-Khazin.
Juga Abdur Razzaq dan sekelompok perawi
meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa ketika ayat 59 surah Al-Ahzab ini
turun kaum wanita Anshar keluar dari rumah-rumah mereka seakan di atas
kepala mereka bertengger burung-burung gagak, karena mereka mengenakan
pakaian-pakaian berwarna hitam.
AYAT KEDUA
وَقـُل لـِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ
أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡـفـَظۡنَ فـُرُوجَهُنَّ وَلـَا يُبۡـدِينَ
زِينَتـَهُنَّ إِلـَّا مَا ظـَهَرَ مِنۡهَا ۖ وَلۡـيَضۡرِبۡنَ
بـِخُمُرِهـِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهـِنَّ ۖ … (النور : 31)
Katakanlah (wahai Nabi Muhammad) kepada
wanita- wanita mukminah, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan
memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan hiasan
(pakaian, atau bagian tubuh) mereka kecuali yang (biasa) nampak darinya
dan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka (QS.
an-Nur [24]: 31).
Ayat ini merupakan seruan kepada seluruh
kaum mukminah baik mereka ibu-ibu kaum mukminin atau selain mereka,
entah mereka bangsa Arab maupun non- Arab.
Pandangan Mufassir Ibn Katsir
“Firman-Nya, ‘dan janganlah mereka menampakkan hiasan (pakaian, atau bagian tubuh) mereka kecuali yang (biasa) nampak darinya’
yakni mereka tidak memperlihatkan sedikitpun hiasan yang menampilkan
keindahan mereka kepada pria asing yang bukan muhrim, kecuali hiasan
yang tidak dapat disembunyikan. Ibn Mas’ud (ra) memahami makna hiasan yang boleh nampak adalah pakaian
yakni yang umumnya digunakan wanita- wanita Arab. Sedangkan yang
terlihat dari bawah pakaian mereka, hal itu diperbolehkan karena ia tak
dapat disembunyikan. Dalam hal ini yang sependapat dengan Ibn Mas’ud
adalah Al-Hasan, Ibn Sirin, Abu Jawza, Ibrahim An-Nakha’i dan selain
mereka. Al-A’masy meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair pendapat Ibn ‘Abbas
bahwa yang boleh nampak adalah wajah, kedua telapak tangan dan cincin
wanita. Riwayat lain yang dinisbatkan kepada Ibn ‘Abbas menyebutkan
bahwa maksud dari hiasan yang boleh nampak di sini adalah pakaian yang terlihat. Malik dari Az-Zuhri meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan hiasan yang boleh nampak di sini cincin dan gelang kaki wanita.”
“Sedangkan firman-Nya, ‘dan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka’ yakni menutupi kepala mereka sampai ke dada mereka dengan kerudung. Khimâradalah
sesuatu yang dijadikan sebagai penutup kepala yang menjulur ke dadanya
sehingga dada dan lehernya, sehingga dengan demikian kaum wanita
mukminah berbeda dengan kaum wanita Jahiliyyah yang tidak melakukan hal
itu, bahkan mereka biasa berlalu melintas di depan kaum lelaki dalam
keadaan dada-dada mereka terbuka sehingga tidak ada sedikitpun yang
tersembunyi darinya. Atau boleh jadi mereka memperlihatkan leher mereka,
jambul-jambul kepala, dan anting telinga mereka. Karena itu Allah SWT
memerintahkan kaum mukminah untuk menutupi ‘aurat mereka dalam bentuk
dan kondisi mereka yang tersendiri, berbeda dengan wanita selain mereka.
Al-Bukhâri meriwayatkan bahwa pernah suatu saat Aisyah (ra) berkata,
‘Semoga Allah merahmati kaum mukminah dari kalangan Muhajiraat generasi
pertama ketika Allah menurunkan firman-Nya, ‘dan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka’
ketika itu mereka serta-merta memotong dan kain-kain mereka lalu mereka
mengenakannya (sebagai penutup kepala sampai ke dada mereka, sesuai
perintah Allah SWT pada ayat tersebut—pent.). Melalui sanadnya Ibn Abi Hatim meriwayatkan bahwa Aisyah (ra) berkata, ‘Pada saat Allah SWT menurunkan firman-Nya, ‘dan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka’
kaum pria kembali ke rumah-rumah mereka seraya membacakan ayat tersebut
kepada istri-istri mereka. Maka, tak ada seorangpun dari para istri
tersebut melainkan segera mengambil kain dan memakainya, sebagai bentuk
keimanan dan pembenaran mereka atas firman-Nya. Mereka lantas berada di
belakang Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa
salam dengan mengenakan penutup kepala seperti yang Allah
SWT perintahkan tadi, seakan di atas kepala-kepala mereka bertengger
burung-burung gagak.”
AYAT KETIGA
…وَإذا سَأَلۡـتـُمُوهُنَّ مَتَٰعًا
فـَسۡـئَلـُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍۚ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ
لِقـُلـُوبـِكـُمۡ وَقـُلـُوبِهـِنَّ ۚ … (الأحزاب : 53
Dan apabila kamu meminta sesuatu
kepada mereka (istri- istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir
(yang menutupi kalian dan mereka). Cara yang demikian itu lebih suci
bagi hati kamu dan hati mereka. (QS. al-Ahzab [33]: 53)
Ayat di atas adalah seruan kepada
kalangan ibu-ibu kaum mukminah, yakni istri-istri Rasulullah Shalallahu
alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Meski demikian, ayat ini berlaku
umum untuk setiap wanita mukminah, mengingat penggalan akhir ayat di
atas yang berbunyi, Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kamu dan hati mereka,
yang merupakan satu-satunya bukti bahwa ayat tersebut berlaku umum bagi
setiap wanita mukminah. Karena itu, tidak ada satu orang pun dari
kalangan muslimin yang mengatakan bahwa selain wanita istri-istri Nabi
Muhammad (saw) tidak membutuhkan kesucian hati mereka dan hati para kaum
laki-laki.
Dalam ilmu Ushul Fiqh ditetapkan bahwa ‘Ulat pemberlakuan suatu hukum itu sifatnya universal, umum tidak terbatas hanya pada ma’lul-nya saja. Dalam Maraqi As-Su’ud disebutkan, ‘Suatu ‘illat bisa bersifat khusus atau umum, namun tak dapat dibatasi pada ma’lul-nya saja.’ Demikian disebutkan dalam Adhwa’ul Bayan (hal. 383/ 6).
AYAT KEEMPAT
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكـُنَّ وََلا تَبَرُّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلأوْلَىٰۖ … (الأحزاب : 33
“Dan tetaplah kamu (tinggal) di
rumah kamu dan janganlah kamu bertabarruj (berhias dan bertingkah laku)
seperti tabarruj Jahiliah pertama….”
(QS. al-Ahzab ayat: 33).
Dalam tafsirnya, Al-Baghawi mengartikan kata wa qarna dengan tetaplah selalu berada di rumah kalian. Sedangkan tabarruj
dipahaminya sebagai berjalan lenggak-lenggok, berpenampilan penuh
keangkuhan. Ada juga yang mengartikannya sebagai memperlihatkan hiasan
dan keindahan kepada kaum pria. Sedangkan maksud dari Jahiliyah pertama
adalah masa di antara NabiIsa dan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa
aalihi wa shahbihi wa salam. Ada juga yang berpendapat masa Nabi Daud
(as) dan Sulaiman (as), dan ada lagi yang mengartikannya sebagai masa
sebelum Islam. Lawan dari Jahiliyah pertama adalah Jahiliyah kedua,
yakni pada saat sekelompok umat manusia di akhir zaman melakukan
pekerjaan seperti yang di lakukan di masa Jahiliyah pertama, di mana
kaum wanita ketika itu mengenakan pakaian yang dihiasi permata, tidak
dijahit dari kedua sisinya.
Mengomentari ayat di atas, Ibn Katsir
dalam tafsirnya (hal. 48/ 3) berkata, “Ini merupakan sekumpulan
ketentuan etika yang Allah SWT perintahkan istri-istri Nabi Shalallahu
alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam untuk berpedoman kepada ketentuan-
ketentuan tersebut. Dalam hal ini, segenap kaum wanita muslimah juga
tergolong ke dalam kelompok mereka yang diperintahkan oleh Allah
SWT dalam ayat tersebut.
AYAT KELIMA
وَٱلۡـقَوَٰعِدُ مِنَ ٱلنـِّسَآءِ ٱلـّتِي
لا يَرۡجُونَ نِكـَاحًا فَلَيۡسَ عَلَيۡهـِنَّ جُنـَاحٌ أَن يَضَعۡنَ
ثِيَابَهُنَّ غَيۡرَ مُتـَبَرِّجَٰتِۢ بِزِينَةۖ وَأَن يَسۡـتَعۡـفِفۡنَ
خَيۡـرٌ لـَّهُنَّۗ وَ اللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (النور: ٦٠ )
Dan perempuan-perempuan tua yang
telah terhenti (dari haid) yang biasanya tidak berhasrat lagi menikah,
maka tidaklah ada dosa atas mereka untuk menanggalkan pakaian (luar)
mereka (yang biasa pakai di atas pakaian yang lain yang menutupi aurat
mereka) dengan (tidak bermaksud) menampakkan perhiasan (angota tubuh
yang diperintahkan Allah untuk ditutup) dan memelihara (diri mereka)
sungguh-sungguh dengan menjaga kesucian adalah lebih baik bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. an-Nur [24]: 60)
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnul ‘Arabi dalam kitabnya Ahkamul Qur’an
(hal. 1401/ 3) berkata: “Mereka adalah wanita-wanita yang telah masuk
usia tua yang tidak lagi mengalami haid, tidak pula dapat melahirkan.
Bahwa yang dimaksud dari ‘melepaskan pakaian itu’ pada ayat di atas
adalah: Salah satunya mengandung arti Jilbab yakni pakaian
longgar yang menutupi baju dan kerudungnya. Sedangkan makna kedua dari
kalimat ‘melepaskan pakaian diatas itu ‘ adalah melepas kerudungnya di
rumahnya dan dari belakang tabir penghalang baik berupa baju kain atau
dinding. Sementara makna firman-Nya dengan (tidak bermaksud) menampakkan perhiasan
yakni tidak memperlihatkan anggota tubuh yang Allah perintahkan untuk
ditutup, tidak pula mengenakan perhiasan sehingga mengundang pandangan
kaum pria asing terhadap mereka.
*****
Hadits-hadits Nabi dan Pendapat Para Ulama Salaf seputar ‘Aurat Wanita
Terdapat sejumlah hadis dan pernyataan
para ulama salaf selain yang telah kami sebutkan di atas di saat
menafsirkan ayat-ayat terkait, tentang sejumlah ketentuan bagi kaum
wanita muslimah dalam hal menutupi ‘aurat serta batasan-batasannya.
Antara lain sebagai berikut:
- Diriwayatkan dari Bahaz bin Hakim dari kakeknya yang pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bagian manakah dari ‘aurat kami yang boleh kami tutupi dan kami biarkan tampak?” Rasulullah menjawab, “Jagalah dan jangan kau perlihatkan ‘auratmu kecuali kepada istrimu atau kepada budak sahayamu.” HR. Abu Dawud dan At- Turmudzi
- Dari Abu Said Al-Khudri diriwayatkan bahwa suatu saat Nabi pernah bersabda, “Seorang pria tidak diperkenankan melihat ‘aurat wanita, begitupula wanita tidak boleh melihat ‘aurat wanita sesamanya.” HR. Muslim, Abu Daud dan At-Turmdzi.
- Aisyah (ra) meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, ” Allah tidak akan menerima Shalatnya seorang wanita haid (baligh) kecuali dengan mengenakan khimar.” Diriwayatkan oleh lima orang pengarang kitab induk hadits, kecuali An-Nasai.
- Ibn Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Barang siapa mengenakan pakaian seraya menariknya dengan maksud tampil dalam keadaan sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Bagaimana dengan yang diperbuat oleh kaum wanita dengan pakaian mereka yang memiliki ‘ekor?” Rasul Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjawab, “Boleh mengulurkannya sejengkal”. “Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap” kata Umu Salamah. “Diulurkan lagi sehasta dan tidak boleh lebih dari itu.” HR. At-Turmudzi dan dianggap shahih olehnya.
- Diriwayatkan bahwa Sayyidina Ali RA pernah berkata, “Aku menghadiahkan kepada Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sebuah pakaian yang mengandung campuran kain sutera. Nabi kemudian mengembalikannya lagi kepadaku maka aku pun memakainya. Lantas aku melihat kemurkaan tampak pada wajah Nabi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam seraya bersabda, “Sesungguhnya aku tidak mengembalikannya kepadamu bukan untuk kau pakai, melainkan untuk kau potong-potong lalu kau jadikan sebagai kerudung bagi kaum wanita.” Hadits ini disepakati keshahihannya.
- Ibn Abbas berkata, “Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melaknat kalangan wanita yang meniru-niru gaya kaum pria , begitu pula sebaliknya beliau melaknat kalangan pria yang meniru-niru gaya kaum wanita.” HR. Al-Bukhari dan Abu Daud.
- Anas RA meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah mendatangi putrinya Fatimah Az-Zahra (ra) bersama seorang hamba sahaya yang telah diberikannya kepada putrinya, sedangkan ketika itu Fatimah mengenakan kain yang jika dengan pakaian tersebut ia menutupi kepalanya, maka kain penutup itu tidak sampai kepada kedua kakinya, dan jika kain itu digunakan sebagai penutup kedua kakinya maka kepalanya tidak tertutupi. Melihat hal demikian Rasulullah Shalallahu alahi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Hal itu tidak masalah engkau mengenakan kain penutup tersebut, karena yang ada di hadapanmu hanyalah ayah dan budak sahayamu.”
- Disebutkan dalam Fathul Bari fi Syarh Shahih Al- Bukhari (hal. 248/ 9) disebutkan: “Wanita dibolehkan keluar dari rumahnya secara kontinyu untuk pergi ke masjid, pasar dan perjalanan dengan syarat harus dalam keadaan mengenakan niqab penutup wajah agar mereka tidak dilihat oleh kaum pria. Sementara kaum pria tidak diperintahkan demikian. Al-Ghazali berkata, ‘Sebab, kaum pria sepanjang zaman senantiasa wajah mereka tersingkap sedangkan kaum wanita keluar dalam keadaan menutup wajah-wajah mereka.’”
- Masih dari kitab Fathul Bari fi Syarh Shahih Al-Bukhari (hal.248/ 9) disebutkan, Dari bab pelarangan kaum pria yang meniru gaya perempuan untuk masuk ke hadapan perempuan, disimpulkan bahwa kaum wanita seharusnya menutupi wajah mereka dari siapa saja yang bisa melihat keindahannya.
- Dalam Hasyiat Al-Futuhat Al-Ilahiyyah ‘ala Tafsir AL- Jalalayn (hal 436/ 3), Ibn Arabi berkata, “Saya sudah pernah memasuki sekitar 1000 lebih perkampungan dan aku tidak pernah melihat satu orang wanitapun berada di jalanan di siang hari kecuali pada hari Jum’at karena mereka keluar untuk melaksanakan salat Jumat di mesjid-mesjid. Dan ketika shalat jum’at telah dilaksanakan, mereka kembali ke rumah-rumah mereka lantas saya tak menemukan satu orang pun dari mereka yang berada di luar. Saya baru dapat melihat mereka lagi di hari Jum’at yang berikutnya. Demikian pula, di Masjidil Aqsha saya menemukan wanita-wanita yang menjaga kehormatan mereka keluar dari tempat-tempat mereka beritikaf sampai mereka mati syahid di tempat itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar