Jujur berarti berkata yang benar yang bersesuaian antara lisan dan apa
yang ada dalam hati. Jujur juga secara bahasa dapat berarti perkataan
yang sesuai dengan realita dan hakikat sebenarnya. Kebalikan jujur
itulah yang disebut dusta.
Perintah untuk Berlaku Jujur
Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah: 119).
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
“Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Dalam hadits dari sahabat 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta. Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ
يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى
الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ
وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ
الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ
وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah
kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan
megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan
pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk
jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan
mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada
neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta,
maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”[1]
Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah
yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya
kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan
menggelisahkan jiwa.”[2] Jujur
adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan.
Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya
kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.
Perintah Jujur bagi Para Pelaku Bisnis
Terkhusus lagi, terdapat perintah khusus untuk jujur bagi para pelaku
bisnis karena memang kebiasaan mereka adalah melakukan penipuan dan
menempuh segala cara demi melariskan barang dagangan.
Dari Rifa'ah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ
“Sesungguhnya
para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai
orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah,
berbuat baik dan berlaku jujur.”[3]
Begitu sering kita melihat para pedagang berkata, “Barang ini dijamin
paling murah. Jika tidak percaya, silakan bandingkan dengan yang
lainnya.” Padahal sebenarnya, di toko lain masih lebih murah dagangannya
dari pedagang tersebut. Cobalah lihat ketidakjujuran kebanyakan
pedagang saat ini. Tidak mau berterus terang apa adanya.
Keberkahan dari Sikap Jujur
Jika kita merenungkan, perilaku jujur sebenarnya mudah menuai berbagai
keberkahan. Yang dimaksud keberkahan adalah tetap dan bertambahnya
kebaikan. Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا - أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا -
فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ
كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Kedua
orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar)
selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling
terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi
tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling
menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada
transaksi itu.”[4]
Di antara keberkahan sikap jujur ini akan memudahkan kita mendapatkan
berbagai jalan keluar dan kelapangan. Coba perhatikan baik-baik
perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika
menjelaskan surat At Taubah ayat 119. Beliau mengatakan, “Berlaku
jujurlah dan terus berpeganglah dengan sikap jujur.
Bersungguh-sungguhlah kalian menjadi orang yang jujur.Jauhilah
perilaku dusta yang dapat mengantarkan pada kebinasaan. Moga-moga
kalian mendapati kelapangan dan jalan keluar atas perilaku jujur
tersebut.”[5]
Akibat Berperilaku Dusta
Dusta adalah dosa dan ‘aib yang amat buruk. Di samping berbagai dalil
dari Al Qur’an dan dan berbagai hadits, umat Islam bersepakat bahwa
berdusta itu haram. Di antara dalil tegas yang menunjukkan haramnya dusta adalah hadits berikut ini,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu ada tiga, dusta dalam perkataan, menyelisihi janji jika membuat janji dan khinat terhadap amanah.”[6]
Dari berbagai hadits terlihat jelas bahwa sikap jujur dapat membawa pada
keselamatan, sedangkan sikap dusta membawa pada jurang kehancuran. Di
antara kehancuran yang diperoleh adalah ketika di akhirat kelak. Kita
dapat menyaksikan pada hadits berikut,
ثَلَاثَةٌ
لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ
وَلَا يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ : الْمَنَّانُ, الْمُسْبِلُ
إِزَارَهُ وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلَفِ الْكَاذِبِ
“Tiga
(golongan) yang Allah tidak berbicara kepada mereka pada hari Kiamat,
tidak melihat kepada mereka, tidak mensucikan mereka dan mereka akan
mendapatkan siksaan yang pedih, yaitu: orang yang sering mengungkit
pemberiannya kepada orang, orang yang menurunkan celananya melebihi mata
kaki dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah dusta.”[7]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu
mencela orang yang tidak transparan dengan menyembunyikan ‘aib barang
dagangan ketika berdagang. Coba perhatikan kisah dalam hadits dari Abu
Hurairah, ia berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ
فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا
هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ
النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke
dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun
beliau bertanya, "Apa ini wahai pemilik makanan?" Sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Mengapa
kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat
melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan
kami."[8] Jika dikatakan bukan termasuk golongan kami, berarti dosa menipu bukanlah dosa yang biasa-biasa saja.
Jujur Sama Sekali Tidak Membuat Rugi
Inilah pentingnya berlaku jujur dalam segala hal, terkhusus lagi dalam
hal muamalah atau berbisnis. Dalam berbisnis hal ini begitu urgent.
Karena begitu banyak orang yang loyal pada suatu penjual karena
sikapnya yang jujur. Namun sikap jujur ini seakan-akan mulai punah.
Padahal sudah sering kita dengar perilaku jujur dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para sahabat, dan ulama salafush sholeh lainnya. Mereka semua begitu
semangat dalam memelihara akhlak yang mulia ini. Walaupun
ujung-ujungnya, bisa jadi mereka merugi karena begitu terus terang dan
terlalu jujur.
Bandingkan dengan perangai jelek sebagian pelaku bisnis saat ini. Coba
saja lihat secara sederhana pada penjual dan pembeli yang melakukan
transaksi. “Mas, HP yang saya jual ini masih awet lima tahun lagi,”
ucapan seseorang ketika menawarkan HP pada saudaranya. Padahal yang
sebenarnya, HP tersebut sudah jatuh sampai sepuluh kali dan seringkali
diservis. Perilaku tidak jujur ini pula seringkali kita saksikan dalam
transaksi online (semacam pada toko online). Awalnya barang yang
dipajang di situs, sungguh menawan dan membuat orang interest, tertarik untuk membelinya. Tak tahunya, apa yang dipajang berbeda jauh dengan apa yang sampai di tangan pembeli.
Pahamilah wahai saudaraku! Jika
pelaku bisnis mau berlaku jujur ketika berbisnis, mau menerangkan ‘aib
barang yang dijual, tidak sengaja menyembunyikannya, sungguh keberkahan
akan selalu hadir. Walaupun mungkin keuntungan secara material tidak
diperoleh karena saking jujurnya, namun keuntungan secara non material
itu akan diperoleh. Karena jujur, sungguh akan membuahkan pahala begitu
besar. Yakinlah bahwa keuntungan tidak semata-mata berupa uang atau
material. Pahala besar di sisi Allah, itu pun suatu keuntungan. Bahkan
pahala di sisi-Nya, inilah keuntungan yang luar biasa. Sungguh, nikmat
dunia dibanding dengan nikmat akhirat berupa pahala di sisi Allah amat
jauh sekali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar