HADITS-HADITS KEPEDULIAN SOSIAL
1. Memberi Lebih Baik Daripada Meminta
a. Teks dan Terjemah Hadits
حَدِيْثُ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ
وَالتَّعَفُّفَ وَالْمَسْئَلَةَ: اَلْيَدُ الْعُلْيَى خَيْرٌ مِّنَ الْيَدِ
السُّفْلَى، فَالْيَدُ الْعُلْيَى هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ
السَّائِلَةُ (أخرجه البخارى فى : 24 كتاب الزكاة: 18 – لاصدقة إلاّ عن ظهر غنى - )
Ibnu Umar ra. Berkata, “Ketika Nabi saw. Berkhotbah di
atas mimbar dan menyebut sedekah dan minta-minta, beliau bersabda,
”Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, tangan
yang di atas memberi dan tangan yang di bawah menerima.”
b. Penjelasan Hadits
Islam sangat mencela orang yang mampu untuk berusaha dan
memiliki badan sehat, tetapi tidak mau berusaha, melainkan hanya
menggantungkan hidupnya pada orang lain. Misalnya, dengan cara
meminta-minta. Keadaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan sifat umat
Islam yang mulia dan memiliki kekuatan, sebagaimana dinyatakan dalam
firman-Nya:
... وَِللهِ الْعِزَّةِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ ..... (المنافقون:8)
Kekuatan itu bagi Allah, bagi rasul-Nya dan bgai orang-orang yang beriman (QS. Al-Munafiqun: 8)
Dengan demikian, seorang peminta-peminta, yang sebenarnya mampu mencari kasab
dengan tangannya, selain telah merendahkan dirinya, ia pun secara tidak
langsung telah merendahkan ajaran agamanya yang melarang perbuatan
tersebut. Bahkan ia dikategorikan sebaga kufur nikmat karena
tidak menggunakan tangan dan anggota badannya untuk berusaha mencari
rezeki sebagaimana diperintahkan syara’. Padahal Allah pasti memberikan
rezeki kepada setiap makhluk-Nya yang berusaha.
Allah swt berfirman:
وَمَا
مِنْ دَآبَّةٍ فِى اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ
مُسْتََقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَابٍ مُّبِيْنٍ (هود:6)
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat
berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam
Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh) (QS. Hud:6).
Dalam hadits dinyatakan dengan tegas bahwa tangan orang
yang di atas (pemberi sedekah) lebih baik daripada tangan yang di bawah
(yang diberi). Dengan kata lain, derajat orang yang pemberi lebih tinggi
daripada derajat peminta-minta. Maka seyogyanya bagi setiap umat Islam
yang memiliki kekuatan untuk mencari rezeki, berusaha untuk bekerja apa
saja yang penting halal.
Bagi orang yang selalu membantu orang lain, di samping
akan mendapatkan pahala kelak di akherat, Allah jug akan mencukupkan
rezekinya di dunia. Dengan demikian, pada hakekatnya dia telah
memberikan rezekinya untuk kebahagiaan dirinya dan keluarganya. Karena
Allah swt. Akan memberikan balasan yang berlipat dari bantuan yang ia
berikan kepada orang lain.
Orang yang tidak meminta-minta dan menggantungkan hidup
kepada orang lain, meskipun hidupnya serba kekurangan, lebih terhormat
dalam pandangan Allah swt. dan Allah akan memuliakannya akan
mencukupinya. Orang Islam harus berusaha memanfaatkan karunia yang
diberikan oleh Allah swt, yang berupa kekuatan dan kemampuan dirinya
untuk mencukupi hidupnya disertai doa kepada Allah swt.
Adanya kewajiban berusaha bagi manusia, tidak berarti
bahwa Allah swt. tidak berkuasa untuk mendatangkan rezeki begitu saja
kepada manusia, tetapi dimaksudkan agar manusia menghargai dirinya
sendiri dan usahanya, sekaligus agar tidak berlaku semena-mena atau
melampaui batas, sebagaimana dinyatakan oleh Syaqiq Ibrahim dalam
menafsirkan ayat:
وَلَوْ
بَسَطَ اللهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِى اْلأَرْضِ وَلَكِنْ
يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَآءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيْرٌ بَصِيْرٌ (الشورى:27)
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada
hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi,
tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran.
Sesungguhnya dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha
Melihat (QS. Asy-Syura:27).
Menurutnya, seandainya Allah swt., memberi rezeki kepada
manusia yang tidak mau berusaha, pasti manusia semakin rusak dan
memiliki banyak peluang untuk berbuat kejahatan. Akan tetapi, Dia
Mahabijaksana dan memerintahkan manusia untuk berusaha agar manusia
tidak banyak berbuat kerusakan.
2. Larangan Hidup Individualistis
a. Teks dan Terjemah Hadits
عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ
مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ. (رواه البخارى ومسلم وأحمد والنسائى)
Anas ra. berkata, bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidaklah termasuk beriman
seseorang di antara kami sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)
b. Penjelasan Hadits
Sikap individualistis adalah sikap mementingkan diri
sendiri, tidak memiliki kepekaan terhadap apa yang dirasakan oleh orang
lain. Menurut agama, sebagaimana di sampaikan dalam hadits di atas
adalah termasuk golongan orang-orang yang tidak (smpurna)
keimanannyanya.
Seorang mukmin yang ingin mendapat ridla Allah swt.
Harus berusaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diridai-Nya.
Salah satunya adalah mencintai sesama saudaranya seiman seperti ia
mencintai dirinya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas.
Namun demikian, hadits di atas tidak dapat diartikan
bahwa seorang mukmin yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai
dirinya sendiri berarti tidak beriman. Maksud pernyataan لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ pada hadits di atas, “tidak sempurna keimanan seseorang” jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, haraf nafi لاَ pada hadits tersebut berhubungan dengan ketidaksempurnaan.
Hadits di atas juga menggambarkan bahwa Islam sangat
menghargai persaudaraan dalam arti sebenarnya. Persaudaraan yang datang
dari hati nurani, yang dasarnya keimanan dan bukan hal-hal lain,
sehingga betul-betul merupakan persaudaraan murni dan suci. Persaudaraan
yang akan abadi seabadi imannya kepada Allah swt. Dengan kata lain,
persaudaraan yang didasarkan Illah, sebagaimana diterangkan dalam banyak hadits tentang keutamaan orang yang saling mencintai karena Allah swt., di antaranya:
عََنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ: أَيْنَ الْمُتَحَابُّوْنَ بِجَلاَلِيْ اَلْيَوْمَ
أُظِلُّهُمْ فِى ظِلِّيْ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ (رواه مسلم)
Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda, “pada hari kiamat allah
swt. akan berfirman, ‘di manakah orang yang saling terkasih sayang
karena kebesaran-Ku, kini aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat
tiada naungan, kecuali naungan-Ku.
Sifat persaudaraan kaum mukmin yatiu mereka yang saling
menyayangi, mengasihi dan saling membantu. Demikian akrab, rukun dan
serempak sehingga merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama
lain. Dalam hal satu kesatuan ini, Nabi saw. mengibaratkan dalam
berbagai hal, di antaranya dengan tubuh, bangunan dan lainnya. Jika
salah satu ada yang menghadapi kesulitan, maka yang lainpun harus
belasungkawa dan turut menghadapinya. Begitupun sebaliknya.
Orang yang mencintai saudaranya karena Allah akan
memandang bahwa dirinya merupakan aslah satu anggota masyarakat, yang
harus membangun suatu tatanan untuk kebahagiaan bersama. Apapun yang
dirasakan oleh saudaranya, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan, ia
anggap sebagai kebahagiaan dan kesengsaraannya juga. Dengan demikian,
terjadi keharmonisan hubungan antarindividu yang akan memperkokoh
persatuan dan kesatuan. Dalam hadits lain Rasulullah saw. menyatakan:
عَنْ
أَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ
يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا. (أخرجه البخارى)
Diriwayatkan dari Abi Musa ra. di berkata, "Rasulullah saw. pernah
bersabda, 'Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan
yang bagian-bagiannya saling mengokohkan. (HR. Bukhari)
Masyarakat seperti itu, telah dicontohkan pada zaman Rasulullah saw. Kaum Anshar dengan tulus ikhlas menolong dan merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum Muhajirin
sebagai penderitaannya. Perasaan seperti itu bukan didasarkan
keterkaitan daerah atau keluarga, tetapi didasarkan pada keimanan yang
teguh. Tak heran kalau mereka rela memberikan apa saja yang dimilikinya
untuk menolong saudaranya dari kaum Muhajirin, bahkan ada yang menawarkan salah satu istrinya untuk dinikahkan kepada saudaranya dari Muhajirin.
Persaudaraan seperti itu sungguh mencerminkan betapa
kokoh dan kuatnya keimanan seseorang. Ia selalu siap menolong saudaranya
seiman tanpa diminta, bahkan tidak jarang mengorbankan kepentingannya
sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik seperti itulah yang
akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt., yakni memberikan sesuatu
yang sangat dicintainya kepada saudaranya, tanpa membedakan antara
saudaranya seiman dengan dirinya sendiri.
Allah swt. berfirman:
لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ (آل عمران:92)
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.
dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Sebaliknya, orang-orang mukmin yang egois, yang hanya
mementingkan kebahagiaan dirinya sendiri, pada hakikatnya tidak memiliki
keimanan yang sesungguhnya. Hal ini karena perbuatan seperti itu
merupakan perbuatan orang kufur dan tidak disukai Allah swt. Tidaklah
cukup dipandang mukmin yang taat sekalipun khusyuk dalam shalat atau
melaksanakan semua rukun Islam, bila ia tidak peduli terhadap nasib
saudaranya seiman.
Namun demikian, dalam mencintai seorang mukmin, sebagaimana dikatakan di atas, harus didasari lillah.
Oleh karena itu, harus tetap memperhatikan rambu-rambu syara’. Tidak
benar, dengan alasan mencintai saudaranya seiman sehingga ia mau
menolong saudaranya tersebut dalam berlaku maksiat dan dosa kepada Allah
swt.
Sebaiknya, dalam mencintai sesama muslim, harus
mengutamakan saudara-saudara seiman yang betul-betul taat kepada Allah
swt. Rasulullah saw. memberikan contoh siapa saja yang harus terlebih
dahulu dicintai, yakni mereka yang berilmu, orang-orang terkemuka,
orang-orang yang suka berbuat kebaikan, dan lain-lain sebagaimana
diceritakan dalam hadits.
عَنْ
عَبْدِ اللهِ ابنْ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِيَلِّيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوا
اْلأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ يَلُوْنَهُمْ ثَلاَثًا وَإِيَّاكُمْ
وَهِيْشَاتِ اْلأَسْوَاقِ. رواه مسلم
Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: hendaknya
mendekat kepadaku orang-orang dewasa dan yang pandai , ahli-ahli pikir.
Kemudian berikutnya lagi. Awaslah! Janganlah berdesak-desakan seperti orang-orang pasar. (HR. Muslim)
Hal itu tidak berarti diskriminatif karena Islam pun
memerintahkan umatnya untuk mendekati orang-orang yang suka berbuat
maksiat dan memberikan nasihat kepada mereka atau melaksanakan amar
ma’ruf dan nahi munkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar