Tindak
pidana korupsi sejatinya adalah salah satu tindak pidana yang cukup tua
usianya. Hal ini dapat ditelusuri melalui sejarah klasik Islam yaitu pada masa
Rasulullah sebelum turunnya surat Ali Imran ayat 161. Saat itu, kaum muslimin
kehilangan sehelai kain wol berwarna merah pasca perang. Kain wol yang sebagai
harta rampasan perang itu pun diduga telah diambil sendiri oleh Rasulullah Saw.
Untuk menghindari keresahan kalangan muslim saat itu, Allah pun menurunkan
surat Ali Imran ayat 161 yang berbunyi:
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ
بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ ڪُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا
كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ
كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ
Artinya: “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan
perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada
hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian
tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan
(pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali ‘Imran (3) :
161)
Tindak
pidana korupsi sangat identik dengan penyalahgunaan jabatan yang didefinisikan
sebagai perbuatan khianat dalam perspektif Islam. Karena jabatan yang telah
disandang oleh seseorang adalah sebuah kepercayaan dari rakyat yang telah
terlanjur menaruh harapan padanya. Atau jabatan yang langsung dibebankan atas
nama negara yang tentunya bertujuan untuk menjalankan berbagai program yang
bermuara kepada kesejahteraan rakyat. Terlebih lagi jika amanat itu menyentuh
pada ranah hukum seperti pegawai pada bidang kepolisian, kejaksaan, kehakiman,
dll yang berbasis kepada keadilan yang diinginkan oleh semua pihak. Amanat yang
telah diemban itulah yang tentunya wajib untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
Allah swt berfirman dalam beberapa ayat mengenai keajiban menjalankan amanat,
yaitu:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَـٰنَـٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal (8) : 27)
Amanat
tentunya adalah sebuah kepercayaan yang wajib untuk dipelihara dan disampaikan
kepada yang berhak menerimanya. Allah swt berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن حۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦۤۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرً۬ا
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.” (QS. an-Nisa (4) : 58)
Ayat-ayat
tersebut menunjukkan adanya kewajiban menyampaikan amanat dan memelihara amanat
yang telah dibebankan kepada orang yang dipercayanya. Sehingga apabila
kewajiban yang tidak ditunaikan, tentunya terdapat keharaman dan hukuman yang
mengiringinya.
Seperti
beberapa jenis, tipologi atau etimologi mengenai korupsi yang telah disebutkan
di atas, maka salah satu dari tipologi itu adalah suap menyuap, yaitu perbuatan
dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada orang yang memiliki kekuasaan
agar dapat memengaruhinya atau memenuhi keinginannya. Al-Qur’an menjelaskan
mengenai keharaman melakukan suap atau korupsi dan juga sabda Rasulullah saw
mengenai pelaku suap menyuap, yaitu:
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٲلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَـٰطِلِ
وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُڪَّامِ لِتَأۡڪُلُواْ فَرِيقً۬ا مِّنۡ أَمۡوَٲلِ ٱلنَّاسِ
بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Artinya
: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS.
al-Baqarah (2) : 188)
لعنة الله عليه الرشى والمرتشى ( رواه احمد وابو داود والترمذى وابن ماجه عن
ابن عمر)
Artinya : “Allah melaknat orang yang menyuap dan memberi suap” (HR. Ahmad,
Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar)
Tindak
pidana korupsi pun dikategorikan sebagai perbuatan penipuan (al-gasysy)
yang secara tegas disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa Allah mengharamkan surga
bagi orang-orang yang melakukan penipuan. Rasulullah saw bersabda:
“ Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata :aku
mendengar Rasulullah saw bersabda: “ seorang hamba yang dianugerahi jabatan
kepemimpinan, lalu dia menipu rakyatnya, maka Allah menghrmakannya masuk
surga.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dalam
hadis lain juga disabdakan mengenai tindak pidana korupsi yang termasuk dalam
kategori penipuan yaitu:
من استعملناه على عمل فرزقناه رزقا
فما اخذ بعد ذلك فهو غلول (رواه ابو داود
والحاكم عن بريدة )
Artinya : “ Barang siapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu
aku beri gajinya, maka sesuatu yng diambil di luar gajinya itu adalah penipuan
(haram).” (HR. Abu Daud, Hakim dari Buraidah)
Kata
“ghulul” dalam teks hadis tersebut adalah penipuan, namun dalam sumber
lain diartikan bahwa “ghulul” adalah penggelapan yang berkaitan dengan
kas negara atau baitul mal. Dalam al-Qur’an sendiri, terdapat kata “ومن يغلل “
yang diartikan sebagai perbuatan berkhianat atas harta rampasan perang
Secara
umum, korupsi dalam hukum Islam lebih ditunjukkan sebagai tindakan kriminal
yang secara prinsip bertentangan dengan moral dan etika keagamaan, karena itu
tidak terdapat istilah yang tegas menyatakan istilah korupsi. Dengan demikian,
sanksi pidana atas tindak pidana korupsi adalah takzir, bentuk hukuman yang
diputuskan berdasarkan kebijakan lembaga yang berwenang dalam suatu masyarakat.
Hadis-hadis
yang disebutkan di atas pun tidak secara tegas menyebutkan bentuk sanksi yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku korupsi. Nash-nash tersebut hanya menunjukkan
adanya keharaman atas perbuatan korupsi yang meliputi suap menyuap,
penyalahgunaan jabatan atau kewenangan, dsb.
Sehingga
ayat dan hadis di atas hanya menunjukkan kepada sanksi akhirat. Hal ini
mengingat bahwa syariat Islam memang multidimensi, yaitu meliputi dunia dan
akhirat. Untuk menjerat para koruptor agar dapat merasakan pedihnya sanksi
pidana, maka dapat dijatuhi sanksi takzir sebagai alternatif ketika sebuah
kasus pidana tidak ditentukan secara tegas hukumannya oleh nash.
Bila
dilihat lebih lanjut, tindak pidana korupsi agak mirip dengan pencurian. Hal
ini jika kita melihat bahwa pelaku mengambil dan memperkaya diri sendiri dengan
harta yang bukan haknya. Namun, delik pencurian sebagai jarimah hudud, tidak
bisa dianalogikan dengan suatu tindak pidana yang sejenis. Karena tidak ada
qiyas dalam masalah hudud. Karena hudud merupakan sebuah bentuk hukuman yang
telah baku mengenai konsepnya dalam al-Qur’an.
Kemudian
terdapat perbedaan antara delik korupsi dan pencurian. Dalam tindak pidana
pencurian, harta sebagai objek curian berada di luar kekuasaan pelaku dan tidak
ada hubungan dengan kedudukan pelaku. Sedangkan pada delik korupsi, harta
sebagai objek dari perbuatan pidana, berada di bawah kekuasaannya dan ada
kaitannya degan kedudukan pelaku. Bahkan, mungkin saja terdapat hak miliknya
dalam harta yang dikorupsinya. Mengingat dapat dimungkinkan pelaku memiliki
saham dalam harta yang dikorupsinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar