Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ
تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا
وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian
sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi
kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang
pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, Nasaai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, dan Al Hakim. Imam Tirmidzi berkata : hasan shahih)
Hadist ini merupakan pokok dalam masalah tawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tawakal
yang benar harus disertai dengan mengambil sebab yang disyariatkan.
Mengambil suatu sebab bukan berarti menafikan (meniadakan) tawakal.
Rasulullah yang merupakan imamnya orang yang bertawakal, ketika beliau
memasuki kota Mekah pada saat peristiwa Fathul Mekah beliau tetap
menggunakan pelindung kepala (ini menunjukkan beliau mengambil sebab
untuk melindungi diri beliau). Beliau juga telah memberi petunjuk untuk
menggabungkan antara mengambil sebab dan bersandar kepada Allah melalui
sabda beliau :
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Semangatlah kalian terhadap hal-hal yang bermanfaat bagi kalian dan mohonlah pertolongan kepada Allah “ (H.R Muslim 2664).
Dalam hadits ’Umar di atas terdapat penggabungan antara
usaha mengambil sebab dengan bertawakal kepada Allah. Mengambil sebab
dalam hadits tersebut disebutkan dengan perbuatan burung, yang pergi
dalam keadaan lapar (perutnya dalam kedaan kosong, kemudian pergi untuk
mencari rezeki), dan kembali dalam keadaan kenyang (perutnya dalam
keadaan isi). Namun, ketika seseorang mengambil sebab, dia tidak boleh
bersandar kepada sebab tersebut, akan tetapi harus tetap harus bersandar
hanya kepada Allah. Demikian juga tidak boleh seseorang menelantarkan
mengambil sebab kemudian menyangka dirinya telah bertawakal kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menetapkan sebab dan Allah pula yang
menetapakan hasil dari sebab tersebut.
Berkata Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah dalam Jaami’ul ’Uluum wal Hikam:
”Hadist ini merupakan asas dalam hal tawakal kepada Allah, dan
sesungguhnya tawakal merupakan sebab terbesar yang dapat mendatangkan
rezeki. Allah Ta’ala berfirman yang artinya :
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ
مَخْرَجاًوَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
”Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, Dia akan
memberikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari jalan yang
tidak disangka-sangaka. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, Dia
akan memberikan kecukupan baginya …” (QS. Ath Thalaaq:2-3).
Hakikat tawakal adalah benarnya penyandaran hati kepada Allah ’Azza wa Jalla
dalam mengambil suatu kebaikan dan menghilangkan suatu keburukan dari
seluruh urusan dunia maupun akherat, dan beriman dengan seyakin-yakinnya
bahwa tidak ada yang dapat memberi dan mencegah, serta memberikan
keburukan dan manfaat kecuali hanya Allah semata.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar